Ilmu Hadits merupakan ilmu yang tepat untuk mengungkap permasalahan
ini. Dengan berbagai pembahasan dalam ilmu ini, kita bisa mengungkap pengertian
Hadits, cara penyampaian dan penerimaannya, cara mengetahui kapasitas para rawi
yang meriwayatkan Hadits dan berbagai pembahasan lain dalam ilmu ini. Tulisan ini akan membahas permasalahan yang berkaitan dengan Al
Hadits seperti pengetian ‘Ulum Al Hadits, cara penerimaan hadist, serta Ilmu Jarah dan Ta’dil.
A.
Pengertian ‘Ulum Al Hadits
Istilah ‘Ulum Al Hadits berasal dari dua kata, yaitu ‘ulum dan
hadits. ‘Ulum merupakan bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang berarti ilmu pengetahuan. Sedangkan
hadits adalah sesuatu yang baru atau lawan dari qadim dan bisa juga berarti
kabar atau berita dari seseorang. Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
ketetapan, dan sifat diri atau sifat pribadi.
Menurut Hafidz Hasan Al Mas’udi, Hadits secara istilah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan atau
sifat Nabi (Minhah Al Muhgits:5).
Dengan demikian, istilah ‘Ulumu Al Hadits adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah
hadits dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya macam
keilmuan yang membahas permasalahan Hadits.
B.
Cara Menerima Hadits
Hadits bisa sampai ke kita merupakan peran dari para ulama’ yang
sudah menyampaikan dan menerima Hadist dari ulama’ yang lain.
Sekurang-kurangnya ada delapan cara penerimaan Hadits.
Pertama, As Simaa’i. Yaitu
seorang ulama’ membacakan sebuah hadist
baik dari hafalan ataupun dari kitab, dan yang hadir dalam majelis itu mendengarkannya untuk ditulis atau untuk
keperluan yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat
tertinggi. Hal ini disebabkan karena ketika ulama’ membacakan Hadist, yang
hadir menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih
dekat pada kebenaran.
Kedua, Al Qira’ah ‘ala Asy Syaikh. Yaitu, suatu cara penerimaan
Hadist dengan cara seseorang membacakan Hadist dihadapan ulama’, baik dia
sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang ulama’ mendengarkan dan
menyimaknya. Tidak diragukan lagi bahwa metode seperti ini adalah sah, sebab
ulama’ bisa langsung mengoreksi jika bacaan seseorang salah .
Ketiga, Al Ijazah. Yaitu pemberian izin kepada seseorang kepada
orang lain, untuk meriwayatkan hadist daripadanya, kitab-kitabnya. Metode ini
diperselisihkan oleh para ulama’ terkait dengan
keabsaan metode ini.
Keempat, Al Munawalah. Maksudnya, seorang ulama’ memberikan sebuah Hadist, beberapa Hadist
atau sebuah kitab kepada muridnya. Kemudian ulama’ itu berkata, “Inilah
hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadist
itu dariku”. Metode ini terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama disertai
dengan ijazah. Misalnya, setelah
ulama’ menyerahkan kitab asli atau
salinannya, lalu ulama’ itu mengatakan :
"Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan ini diperkenankan dan
bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma', karena tidak ragu
lagi kewajiban untuk mengamalkannya. Kedua tanpa disertai ijazah. Yakni ketika
naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya dengan dikatankan bahwa itu
adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk
mengamalkannya.
Kelima, Al Mukatabah. Yaitu ulama’ menulis dengan tangannya sendiri
atau meminta orang lain untuk menulis dirinya sebagai hadistnya untuk seorang
murid yang ada dihadapannya atau murid
yang tidak datang kemudian mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang
bisa dipercaya. Metode ini dibagi menjadi dua. Pertama, disertai ijazah..
Misalnya ulama’ menulis beberapa hadist untuk murid dan memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan
munawalah yang disertai dengan ijazah dalam kebenaran dan kekuatan. Kedua, tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok ulama
yang melarang meriwayatkan hadist darinya. Namun pendapat yang shahih
memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin
dan muta'akhirin
Keenam, I'lam Asy Syaikh. Yakni pemberitahuan ulama’ kepada
muridnya, bahwa kitab atau Hadist yang
diriwayatkannya diterima dari ulama’, dengan tanpa memberikan izin kepada
muridnya untuk meriwayatkannya. Hadist dengan cara ini tidak sah, karena adanya
kemungkinan bahwa ulama’ mengetahui bahwa dalam hadist tersebut ada cacatnya
Ketujuh, Al Washiyah. Yakni ulama ketika akan meninggal atau
bepergian, meninggalkan pesan atau orang lain untuk meriwayatkan hadist atau
kitabnya, setelah ulama’ meninggal atau bepergian. Menurut jumhur cara ini
lemah, sementara Ibnu Sirin memeperbolehkan mengamalkan hadist yang
diriwayatkan.
Kedelapan, Al Wijadah. Yaitu memperoleh tulisan hadist dari orang
lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadz sima', qira'ah dan lainnya
dari pemilik hadist atau tulisan tersebut.
C.
Ilmu Jarah dan Ta’dil
Jarah secara bahasa
diambil dari kata jariha-yajrahu-jarahan yang artinya terkena luka. Sedangkan
secara istilah, jarah adalah nampaknya sifat pada rawi yang merusakan keadilannya,
atau mencedarakan hafalannya, karena itu gugurlah riwayatnya atau dipandang
lemah periwayatannya .
Sedangkan Ta’dil secara bahasa berarti menyamakan. Menurut
istilah, Ta’dil adalah lawan dari jarah, yang berarti pembersihan atau pensucian
rawi dan menetapan bahwa rowi itu adil dan dhabit. Jadi, Ilmu Jarah dan
Ta’dil adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
Ilmu ini berfungsi untuk mengetahui kelayakan rawi untuk
meriwayatkan suatu hadits. Jika rawi cacat, maka periwayatannya ditolak, begitu
pula sebaliknya.
Untuk bisa menilai seorang rawi, seseorang harus memenuhi beberapa
kaidah, yaitu pertama, Al-amanah wa al-nazahah. Yaitu mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan
tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin,
“Saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan
keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
Kedua, Ad Dqiqotu fi Al
Bahsi wa Al Hukmi. Yaitu mereka sangat serius dalam meneliti keadaan perawi
yang diperbincangkan. Mayoritas ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi,
karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena
persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang lemah dalam
beragama dan dari lemahnya hafalan.
Ketiga, Iltizam ‘ala Al Adab fi Al Jarah. Yaitu ‘ulama Jarh
wa ta’dil dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan tidak akan keluar dari
etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam
kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan
adalah orang yang lemah
atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata
“pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
Ta’dil
mempunyai beberapa tingkatan dan lafadz, pertama, lafadz yang menunjukan pada
mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan
ini merupakan tingkatan teratas.
Daftar Pustaka
Al-Jurjani, Ali bin Muhammal, Al
Ta’rifat, Beirut : Dar al-fikr al-ilmiyyah.
Al-Tahya, Mahmud, Taysir Musthalah
Al-Hadits, Surabaya : Bangkul Indah.
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang.
Lajnah I’dad Al Mawad Ad Dirosiyah,
Muqoror ‘Ilmi Al Hadits, Yogyakarta: Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah.
Rinsyah, October, Al-Hadits,
Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
TM. Hasbi Ash Shidieqy,
"Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II Jakarta: Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar