Catatan Kecil yang Penuh Makna

saya ucapkan ahlan-wa sahlan biqudumikum, welcome, selamat datang, wilujeng sumping, sugeng rawuh. Blog sederhana ini berisi pengetahuan dan sekelumit kisah hidup ane, so jangan bosan-bosan untuk mampir dan nongkrongin blog gw yak...

Minggu, 04 Agustus 2013

Cara Menerima Hadits serta Ilmu Tajrih dan Ta’dil



   Agama Islam merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ajaran agama Islam bersumber pada Al Quran dan Al Hadits. Keotentikan Al Quran tidak terbantahkan lagi, tetapi berbeda dengan Al Hadits. Banyak ditemukan  Hadits palsu di sekitar kita. Tentunya kita membutuhkan suatu ilmu untuk mengungkap permasalahan ini. 
  Ilmu Hadits merupakan ilmu yang tepat untuk mengungkap permasalahan ini. Dengan berbagai pembahasan dalam ilmu ini, kita bisa mengungkap pengertian Hadits, cara penyampaian dan penerimaannya, cara mengetahui kapasitas para rawi yang meriwayatkan Hadits dan berbagai pembahasan lain dalam ilmu ini.      Tulisan ini akan membahas permasalahan yang berkaitan dengan Al Hadits seperti pengetian ‘Ulum Al Hadits, cara penerimaan  hadist, serta Ilmu Jarah dan Ta’dil.

      A.    Pengertian ‘Ulum Al Hadits
Istilah ‘Ulum Al Hadits berasal dari dua kata, yaitu ‘ulum dan hadits. ‘Ulum merupakan bentuk jama’ dari kata ‘ilm  yang berarti ilmu pengetahuan. Sedangkan hadits adalah sesuatu yang baru atau lawan dari qadim dan bisa juga berarti kabar atau berita dari seseorang. Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat diri atau sifat pribadi.
Menurut Hafidz Hasan Al Mas’udi, Hadits secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan  kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan  atau  sifat Nabi (Minhah Al Muhgits:5).
Dengan demikian, istilah ‘Ulumu Al Hadits adalah  ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah hadits dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya macam keilmuan yang membahas permasalahan Hadits. 

      B.     Cara Menerima Hadits
Hadits bisa sampai ke kita merupakan peran dari para ulama’ yang sudah menyampaikan dan menerima Hadist dari ulama’ yang lain. Sekurang-kurangnya ada delapan cara penerimaan Hadits.
Pertama,  As Simaa’i. Yaitu seorang ulama’  membacakan sebuah hadist baik dari hafalan ataupun dari kitab, dan yang hadir dalam majelis itu  mendengarkannya untuk ditulis atau untuk keperluan yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat tertinggi. Hal ini disebabkan karena ketika ulama’ membacakan Hadist, yang hadir menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat pada kebenaran.
Kedua, Al Qira’ah ‘ala Asy Syaikh. Yaitu, suatu cara penerimaan Hadist dengan cara seseorang membacakan Hadist dihadapan ulama’, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang ulama’ mendengarkan dan menyimaknya. Tidak diragukan lagi bahwa metode seperti ini adalah sah, sebab ulama’ bisa langsung mengoreksi jika bacaan seseorang salah .
Ketiga, Al Ijazah. Yaitu pemberian izin kepada seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadist daripadanya, kitab-kitabnya. Metode ini diperselisihkan oleh para ulama’ terkait dengan  keabsaan metode ini.
Keempat, Al Munawalah. Maksudnya, seorang ulama’  memberikan sebuah Hadist, beberapa Hadist atau sebuah kitab kepada muridnya. Kemudian ulama’ itu berkata, “Inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadist itu dariku”. Metode ini terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama disertai dengan  ijazah. Misalnya, setelah ulama’  menyerahkan kitab asli atau salinannya, lalu  ulama’ itu mengatakan : "Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan ini diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma', karena tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya. Kedua tanpa disertai ijazah. Yakni ketika naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya dengan dikatankan bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk mengamalkannya.
Kelima, Al Mukatabah. Yaitu ulama’ menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain untuk menulis dirinya sebagai hadistnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau  murid yang tidak datang kemudian mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Metode ini dibagi menjadi dua. Pertama, disertai ijazah.. Misalnya ulama’ menulis beberapa hadist untuk murid dan memberikan  ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam kebenaran dan kekuatan. Kedua,  tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan hadist darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta'akhirin
Keenam, I'lam Asy Syaikh. Yakni pemberitahuan ulama’ kepada muridnya, bahwa kitab atau  Hadist yang diriwayatkannya diterima dari ulama’, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Hadist dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa ulama’ mengetahui bahwa dalam hadist tersebut ada cacatnya
Ketujuh, Al Washiyah. Yakni ulama ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan atau orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah ulama’ meninggal atau bepergian. Menurut jumhur cara ini lemah, sementara Ibnu Sirin memeperbolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan.
Kedelapan, Al Wijadah. Yaitu memperoleh tulisan hadist dari orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadz sima', qira'ah dan lainnya dari pemilik hadist atau tulisan tersebut.

      C.    Ilmu Jarah dan Ta’dil
Jarah secara bahasa diambil dari kata jariha-yajrahu-jarahan yang artinya terkena luka. Sedangkan secara istilah, jarah adalah nampaknya sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau mencedarakan hafalannya, karena itu gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah periwayatannya .
Sedangkan Ta’dil secara bahasa berarti menyamakan. Menurut istilah, Ta’dil adalah lawan dari jarah, yang berarti pembersihan atau pensucian rawi dan menetapan bahwa rowi itu adil dan dhabit. Jadi, Ilmu Jarah dan Ta’dil adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
Ilmu ini berfungsi untuk mengetahui kelayakan rawi untuk meriwayatkan suatu hadits. Jika rawi cacat, maka periwayatannya ditolak, begitu pula sebaliknya.
Untuk bisa menilai seorang rawi, seseorang harus memenuhi beberapa kaidah, yaitu pertama, Al-amanah wa al-nazahah. Yaitu  mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin, “Saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
Kedua, Ad Dqiqotu  fi Al Bahsi wa Al Hukmi. Yaitu mereka sangat serius dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi, karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang lemah dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
Ketiga, Iltizam ‘ala Al Adab fi Al Jarah. Yaitu ‘ulama Jarh wa ta’dil dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan  adalah  orang  yang lemah  atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
Ta’dil mempunyai beberapa tingkatan dan lafadz, pertama, lafadz yang menunjukan pada mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan ini merupakan tingkatan teratas.

Daftar Pustaka
Al-Jurjani, Ali bin Muhammal, Al Ta’rifat, Beirut : Dar al-fikr al-ilmiyyah.
Al-Tahya, Mahmud, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya : Bangkul Indah.
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang.
Lajnah I’dad Al Mawad Ad Dirosiyah, Muqoror ‘Ilmi Al Hadits, Yogyakarta: Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah.
Rinsyah, October, Al-Hadits, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
TM. Hasbi Ash Shidieqy, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II Jakarta: Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar