Wacana filsafat yang menjadi
topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan
epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk
mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu
sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini,
maka dalam filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan
jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut
adalah rasionalisme dan empirisme.
Empirisme itu sendiri pada abad
ke-19 dan 20 berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu
Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
A.
Biografi John Dewey (1859-1952)
Ia dilahirkan
di Burlington, Vermont pada 20 Oktober 1859[1].
Adalah seorang filusuf Amerika, psikolog, dan pembaharu pendidikan yang sangat
berpengaruh di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Ia diakui sebagai salah satu
pencetus sekolah filsafat pragmatism (bersama dengan Charles Sanders Peirce dan
Williams James), pelopor dalam psikologi fungsional, dan seorang pengembang
gerakan pendidikan progresif di Amerika Serikat selama paruh pertama abad 20.[2]
Dhewey lahir di
Vermont berasal dari keuarga sederhana. Setelah menyelesaikan studinya di
Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga bidang
pendidikan pada Universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago
(1894-1904), dan akhirnya di Universitas Colombia (1904-1929). Sekalipun Dewey
terlepas dari William James, ia menghasilkan pemikiran yang nampaknya emiliki
persamaan dengan gagasan James.
Sepanjang
karirnya, Dhewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700 artikel. Dhewey
meninggal dunia ada tahun 1952. Menurut dhewey, tugas fiilsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu,
filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka.
Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah
pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian, filsafat dapat menyusun suatu
system nilai atau norma.[3]
B.
Pragmatisme
1.
Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat
praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima
sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang
bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup
praktis”.
Kata
pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang
pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian
seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya,
tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu
kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu,
tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan
benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme
dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui
aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2)
absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
2.
Tokoh-tokoh Filsafat
Pragmatisme
Filosuf yang
terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John
Dewey.
a.
William James (1842-1910 M)
William James
lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang
yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh
dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab
berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.3
Karya-karyanya
antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897),
The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam
bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita
berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu
senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran
mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu
apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah
oleh poengalaman berikutnya.
Nilai
pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup
serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam
bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar
kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah
kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara
mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang
lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James
membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya
dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata
lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang
adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat
mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral
umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat
subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk
mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
b.
John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey
bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang
pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia
serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut
pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
C.
Pragmatisme
(Instrumentalisme) John Dewey
Dewey adalah
seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah
instrumentalis. Menurutnya, tujuan filsafat ialah untuk mengatur kehidupan dan
aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di duania, dan sekarang. Tegasnya,
tugas filsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi
perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh
tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat
harus berpijak pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah
pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat
menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun
suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan
yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa
depan. Menurut dewey, kita hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti
tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata temporalisme
yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme,
mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga,
milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita.
Pandangan ini juga dianut oleh William James.
a.
Konsep Dewey tentang
Pengalaman dan Pikiran
Pengalaman
(experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Filsafat Dewey adalah "mengenai" (about) dan "untuk" (for)
pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan
mencakup segala proses "saling mempengaruhi" (take and give) antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang
yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya
bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman
bukannya suatu tabir yang menutupi manusia sehingga tidak melihat alam;
pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki
rahasia-rahasia alam.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni duania pria dan
wanita dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang,
dunia kita yang hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia
pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha
membentuk suatu masyarakat dimana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan
dan kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran
selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang
terganggu oleh pekerjaan di luar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan
yang akan dilakukan. Kegunaan kerja pikiran, kata Dewey, tidak lain
hanya merupakan cara untuk jalan melayani kehidupan. Makanya, ia dengan
kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (scientific method) bagi
semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak (etika),
estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah
dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan hidup.
Menurut Dewey,
yang dimaksud dengan scientific method ialah cara yang dipakai oleh seseorang
sehingga bisa melampui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan
demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to
solve problematic situation). dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.
b.
Dewey dan Pendidikan
Progresif
Dewey memandang
bahwa tipe dari pragmatisnya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai
jangkauan aplikasi dalam masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang
strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup di masa depan. Pendidikan
Nasional Amerika, menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah
usang (out of date) dan hanya mengulang-ulang sesuatu yang sudah lampau, yang
sebenarnya tidak layak lagi untuk diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang
demikian hanya mengebiri intelektualitas anak didik.
Dalam bukunya
Democracy and Education (1916)., Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang
adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan.
"Dewey elaborated upon his theory that school reflect the community
and be patterned after it so that when children graduate from school they will
be properly adjusted to asumse their place in society."
Kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa
pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai sengan kebutuhan yang ada
pada lingkunga sosialnya. Sehingga, apabila anak didik tersebut telah
lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakatnya.
Untuk
merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam
pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan
pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi
kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut sesuai dengan
perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru
bukannya satu-satunya sumber, bahkan kedudukan seorang guru hanya membantu
siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Dengan metode semacam ini,
dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya
pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukannya oleh metode
andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik.
Kedua, Learning
by doing. Konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia
pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis
dalam masyarakat bila telah menyelesaikan pendidikannya, maka mereka dibekali
keterampilan-keterampilan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.
c.
Analisis Kritis atas
kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
1)
Kekuatan Pragmatisme
ü Kemunculan pragmatis
sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika
Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu pengetahuan
maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil "membumikan"
filsafat dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berpikir
metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berpikir hal-hal yang
memikirkan atas kenyataan, materialis, dan didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan
di sini (dunia), bukan nanti di akhirat. Dengan demikian, filsafat pragmatisme
mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar memercayai (belief) pada
hal-hal yang sifatnya riil, indriawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara
praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
ü Pragmatisme telah berhasil mendorong berpikir yang liberal,
bebas, dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis
tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang
untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian,
pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah
temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu
mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.
ü Sesuai dengan coraknya yang "sekuler", pragmatisme
tidak mudah percaya pada "kepercayaan yang mapan". Suatu kepercayaan
dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis
sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos.
Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan
pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerakan-gerakan
progresif dalam masyarakat modern.
2)
Kelemahan Pragmatisme
ü Karena pragmatisme
tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut
(kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah,
dan percaya bahwa dunia ini mampu "dibikin" manusia sendiri, secara
tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu transendental. Kemudian
pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam
upaya mencapai kebutuhan kehiohidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus
kepada sikap ateisme.
ü Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme
adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh
manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis.
Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat
ruhaniah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit
materialisme.
ü Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya
dengan berbagai cara, tanpa memedulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota
dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu hanya sekadar
memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup
semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita
penyakit humanisme.
Terakhir, seandainya William James dan John Dewey
masih hidup dan menyaksikan masyarakat Amerika yang menganut ajaran filsafatnya
atau yang terjadi pada dunia saat ini akibat menganut ajaran filsafatnya yang
mengarah ke dalam kehidupan sosialnya semakin berjalan ke arah terjadinya
dehumanisasi dan ateisme, kami yakin keduanya akan mencabut kembali ajaran
filsafatnya atau setidak-tidaknya merevisi kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Juhaya
S. Praja, Prof., Dr., Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta.
2003.
Mudzakir,
Drs., dkk., Filsafat Umum, CV. Pustaka Setia: Bandung. 1997.
Munir,
Misnal, Drs., M.Hum., dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2006.
Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat
2. Yogyakarta. Kanisius. Halaman.133-135.
C.F. Delany. 1999. “Dhewey, John”. In the Cambridge
Dictionary Of Philosophy. Robert Audi, ed. 229-231. London Cambridge Univerity
Press.
Terima kasih kerana posting ini membantu saya dalam menyiapkan tugasan kajian saya.
BalasHapus