Dewasa ini, banyak sekali aliran-aliran pemahaman
tentang keagamaan yang mungkin masyarakat awam kurang mengenalinya. Bahkan
tidak sedikit dari mereka yang menerima dengan mudah terhadap paham yang ada
dalam aliran tersebut, sehingga mengakibatkan timbul banyak hal yang negatif
dalam masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya dapat memecah belah persatuan
dan kesatuan negara kita sendiri.
Pluralisme menurut Anis Malik Thoha dalam
bahasa inggris mempunyai 3 pengertian ;
1. Pengertian
Kegerejaan : sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan struktur
kegerejaan, baik itu semua bersifat kegerejaan maupun yang bersifat non kegerejaan.
2. Pengertian
Filosofis : system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang
mendasarkan lebih dari satu.
3.
Pengertian
Sosio-politis : adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara
kelompok-kelompok tersebut.
Adapun
Pluralisme menurut Josh McDowell ada 2 macam;
1. Pluralisme
Tradisional (social-pluralism) yang kini disebut”negative tolerance”:
menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta bersama
mereka.
2. Pluralisme
Baru (religious pluralism) disebut dengan “positive tolerance”: setiap
keimanan, nilai, gaya hidup, dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah
sama (equal).
Dan
Pluralisme menurut MUI yaitu sebagai suatu paham yang mengajarkan semua agama
adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relative. Oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralism juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan disurga.
Menurut Nurcholis Madjid dan Adian Husaini dalam Majalah Media Dakwah edisi no. 358 2005 menyatakan bahwa pluralism agama adalah istilah khas dalam theology. Dia mengelompokan ada 3 sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu :
Menurut Nurcholis Madjid dan Adian Husaini dalam Majalah Media Dakwah edisi no. 358 2005 menyatakan bahwa pluralism agama adalah istilah khas dalam theology. Dia mengelompokan ada 3 sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu :
1.
Sikap
eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang
salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya).
2.
Sikap
Inklusif (agama-agama lain adalah untuk inplisit agama kita)
Menurut John Hick,
pluralisme agama adalah, “ Pandangan bahwa agama agama besar memiliki persepsi
dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia
yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri
menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama”. John
Hick juga menyatakan diantara prinsip pluralisme yaitu bahwa agama-agama lain
adalah sama sama benar menujur kebenaran yang sama. (Makalah, Muhammad Nurdin
Salim, Telaah Kritis Pluralisme Agama)
Jadi, Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan
dengan sistem sosial dan politiknya). Sedangkan pluralisme agama adalah semua
agama dianggap benar, lain halnnya dengan pluralitas yang menganggap semua agam
itu ada.
Realitas
Pluralisme Dalam Kehidupan
Dalam
masyarakat plural setiap orang bebas bergabung dengan yang lainnya tanpa ada
hal yang mengikat untuk menghalangi hak seseorang bergabung dengan suatu
kelompok atau orang tertentu dalam baik dari sisi agama, bahasa, ras dan lain
sebagainya. Bahkan dalam perspektif islam, Allah SWT memerintahkan umat manusia
untuk menjadikan perbedaan sebagai media atau wahana berkomunikasi antar sesama
agar saling mengenal, dalam surat Al-Hujurat 13. Yang artinya sebagai berikut :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dari
ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tinggi rendahnya manusia
dihadapan Allah SWT tidak ditentukan oleh adanya perbedaan dan pluralitas,
tetapi oleh kadar ketaqwaan.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Pluralisme
adalah sebuah fenomena yang membahayakan.
Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas
agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya ‘mempreteli’ identitas
Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan
orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya
bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum
dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.”
Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus
dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama
menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Bahaya lain
pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai
agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah
pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah
al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan
alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap
berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam. Karena
itu, wajar jika KH Kholil Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati
Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme agama yang diusung Gus Dur berbahaya
bagi umat Islam (Tempointeraktif.com, 30/12/2009). Bahaya lainnya, pluralisme
agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu
globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan
nilai-nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru” yang
bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti
kita harus siap menerima Kapitalisme itu sendiri.
Hubungan Antar Agama dalam Kehidupan yang Majemuk
Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran
agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai dengan
ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk
menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti
membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan,
pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu
kepercayaan atau agama.
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan
ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan
pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi terhadap
agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya
yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang
oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama
atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak
terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya perkawinan
antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar
(contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia.
Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh, atau Kristen
di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan
anak-anak, melalui jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama
tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikr masyarakat umumnya. Hal
inilah kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang
menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian
mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang
dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu
masyarakat. Hal itu bisa kita lihat contoh pada kasus pengusiran warga terhadap
tokoh aliran Salafi di Lombok Barat, pada tanggal 12 Mei 2008, disebabkan
perbedaan pandangan atau praktik keagamaan.
Pengaruh dominasi juga menjadi penting
dalam masalah ini. Terkadang di suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama
tertentu akan menekan kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan
perundang-undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma
agama yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum
Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung kebebasan
mereka untuk menjalankan ibadah. Kelompok yang memeluk agama mayoritas merasa
terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan ibadah menurut agama
dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk membangun tempat ibadah.
Situasi seperti ini juga dapat menyulut tindak kekerasan, contohnya pengrusakan
komlpeks Pura Sengkareng di Lombok Barat, pada tanggal 16 Januari 2008.
Pandangan
Islam terhadap Pluralisme
Allah
SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa di sisi Allah[1].”
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan
keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam
(pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut
(pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
“Mereka
menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak
memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela[2].”
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu
sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan,
bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah
sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam
ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam[3].”
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain
Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam,
baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30,
31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72). Karena
itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme
agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan.
Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19:
88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak
Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai
anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa
eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar.
Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan,
berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti
diakui benar. Untuk umat islam Indonesia, MUI telah jelas jelas mengharamkan
pluralisme agama, sebuah pemikiran yang, jika coba mengambil kesimpulan dari
The Lost Symbol-nya Dan Brown, merupakan salah satu dasar perjuangan kaum
Freemasonry untuk membentuk tata dunia baru tanpa “sekat sekat” agama.
Pluralisme
dan ajaran pluralisme agama bukanlah hal sederhana yang bisa dipermainkan
seenaknya. Konsekwensi dari paham ini adalah tereduksinya akidah seorang muslim
yang bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, al
Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkannya kepada Muhamad SAW dan
disampaikannya (Muhammad SAW) kepada para sahabat tanpa penambahan ataupun
pengurangan sedikitpun.
Adapun sikap kita sebagai muslim
harus dapat menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat.
Karena perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota
masyarakat. Dan sudah waktunya kita untuk menyadari dengan tulus tentang adanya
pluralitas, sehingga dapat menjauhi dari setiap tindakan yang muncul baik yang
terang-terangan maupun yang diam-diam, untuk menolak adanya perbedaan dan
pluralitas, dengan memanfaatkan untuk mempertajam konflik dalam masyarakat yang
majemuk. Karena, tindakan semacam itu sesungguhnya hanya akan menghancurkan
diri kita sendiri.[4]
KESIMPULAN
Jadi
dalam menghadapi isu mengenai pluralisme hendaknya kita menumbuhkan sikap
toleransi antar sesama pemeluk agama sesuai dengan batasan agama masing-masing.
Sesuai dengan makna dari pluralisme agama yang kita bahas diatas tadi, yaitu
semua agama dianggap benar dalam konteks kehidupan sosial antar manusia.
Sedangkan dalam konteks pluralisme keagamaan, kita menganggap semua agama
dianggap benar disini berarti membenarkan agama yang kita anut dalam hal
peribadahan, bukan berarti membenarkan agama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar